Kerah Biru sering dianggap
pegawai “kelas dua”, lain dengan kerah putih yang dianggap memiliki kualitas
karena tingkat pendidikan atau pengalamannya. Banyak studi yang menjelaskan
deskripsi pekerjaan kerah putih yang menghasilkan kesejahteraan lebih layak
dibandingkan kerah biru. Bila di perusahaan swasta kerah biru diartikan bekerja
dengan “otot”, bagaimana dengan lingkup pemerintah.
Dewasa ini, wacana pemberlakuan
Tunjangan Kinerja bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bisa diartikan angin segar
bagi PNS “kerah biru”. Pemberlakuan Grading
membuat para kerah biru memaksimalkan kinerja guna mengejar jabatan fungsional
yang disesuaikan kemampuan dan pengalaman yang selama ini dikerjakan. Bagaimana
dengan kerah putih?
PNS kerah putih tentu mengalami
hal serupa, tetapi ada “selisih” jarak, namun kondisi ini juga bisa diartikan
para kerah putih bukan hanya dituntut sebagai pengambil kebijakan, tetapi juga
pembimbing atas kebijakan yang sudah disepakati dan dijalankan organisasi.
Wacana “Asal Bapak Senang” sebagaimana didengungkan pada masa orde baru, sudah
tidak berlaku.
Penulis membuat analogi bahawa
PNS Kerah Putih adalah Pejabat Pengelola Anggaran dan Pejabat Struktural
(Eselon), sementara PNS Kerah Biru adalah para pelaksana teknis.
Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhyono membuat batasan tegas dalam perspektif penerimaan CPNS dengan terlebih
dahulu menciptakan optimalisasi PNS. Sehingga diharapkan kinerja PNS terus
bertumbuh seiring insentif.
Moratorium atas penerimaan CPNS
yang diberlakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) beberapa waktu lalu, “memaksa”
satuan kerja memaksimalkan PNS sesuai jabatan yang sesuai rencana kerja baik
jangka menengah atau jangka panjang. Diharapkan belanja negara berupa belanja
pegawai bisa teralihkan ke belanja barang atau belanja modal, sehingga beban
belanja negara bisa terserap untuk pembangunan.
Kembali kepada konsep PNS Kerah
Biru, pada sedikit kesempatan, deskripsi pekerjaan yang dilakukan menjadi
berdasar pada Surat Keputusan pimpinan, mengingat Grading yang melekat. Namun seringkali, Surat Keputusan yang
diterbitkan kepada Kerah Biru, tetapi tidak “menyinggung” para Kerah Putih.
Dalam level manajemen, garis perintah vertikal seharusnya menjadikan pekerjaan
lebih terkonsep. Namun Surat Keputusan menjadikan jabatan lebih terkonsentrasi
menjadi dua bagian, pelaksana teknis yang menjalankan pekerjaan (Kerah Biru)
dan pengambil kebijakan yang menguasai SDM (Kerah Putih).
Pada tahun anggaran berjalan, Surat Keputusan
banyak diterbitkan manajemen puncak kepada para pelaksana teknis untuk melaksanakan
tugas organisasi sebagaimana Rencana Kerja (Renja). Biasanya pelaksana teknis
yang ditunjuk, merupakan pegawai bagian/bidang yang dipimpin Pejabat Struktural.
Disinilah letak “konflik”. Pelaksana teknis melaksanakan dwi dungsi; pemegang
Surat Keputusan dan menjadi pelaksana dari pejabat struktural.
Pemegang Surat Keputusan, secara
undang-undang pengelola anggaran, bertanggung jawab kepada kuasa pengguna
anggaran (manajemen puncak), tidak kepada atasan langsung bagian/bidang.
Seringkali, dalam menjalankan fungsi jabatan fungional (berdasarkan Surat
Keputusan), berbenturan kepentingan sehingga mengorbankan perintah atasan
langsung. Atau mungkin atasan langsung tidak “dianggap” mengingat semua
pertanggungjawaban langsung ke manajemen puncak. Secara kepegawaian, pelaksana
teknis bergantung pada atasan langsung (struktural), namun secara pekerjaan,
atasan langsung tidak memiliki pengaruh mengingat pertanggungjawabannya
langsung ke puncak (atasan dari atasan langsung).
Gambaran tersebut menjadikan
pelaksana teknis memiliki “kuasa” dalam menjalankan pekerjaan, sebagimana
aturan hak dan kewajiban dalam undang-undang pengelolaan anggaran negara.
Sehingga menjadikan para kerah biru tersebut berlabel “Jenderal”. Konsep jenderal
diadopsi dari acara Mario Teguh, dimana pada salah satu acara, melontarkan
pertanyaan ke audiens, manakah yang lebih tepat, Seorang Prajurit yang memiliki
mental seorang Jenderal !, atau Prajurit yang Merasa Layak menjadi Jenderal ? Para
pegawai, terlepas kerah biru atau kerah putih, khususnya pada organisasi
pemerintahan, dituntut negara menghasilkan kinerja yang tersalurkan melalui
unit-unit dalam organisasi, guna pencapaian output dan outcome, demi kesejahteraan masyarakat.
Konsep reorganisasi atas suatu
organisasi mungkin menjadi solusi dalam hal pengaturan job desk. Para kerah biru menjalankan tugas yang bukan hanya otot,
namun juga kesempatan menuangkan pemikiran guna perbaikan sistem berkelanjutan.
Sementara para kerah putih, dengan kemampuan, pengalaman dan tingkatannya
menjalankan tugas dengan spesifikasi khusus. Sehingga diharapkan, semua PNS
menjalankan fungsi yang sama, tidak dibedakan kerah biru atau kerah putih,
namun berdasar Grading jabatan yang
dilakukan.
[Eko Prio Wibowo – dari berbagai sumber]