"Selamat Datang di EPRIO"

Perubahan Paradigma PBJ Yang Hakiki

Pada bahasan sebelumnya diulas Reformasi Integritas terkait Paradigma PNS dalam rangka Pemberantasan Korupsi. Pada kesempatan ini, selaku anggota Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI), akan kami sampaikan perubahan paradigma terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang dalam hal ini menjadi fokus program Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemeritah (LKPP).

Beberapa tahun belakangan, LKPP fokus membenahi sekor Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) yang dianggap Badan Pengawas Pemerintah dibidang Tipikor; BPK, BPKP, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan merupakan tempat berlangsungnya Tipikor secara Terstruktur, Sistematis dan Masif. Banyak kontrak yang dianggap “merugikan negara” yang semestinya bisa efisien menggunakan pendekatan efektifitas sebagaimana diatur Perpres 54 tahun 2010 dan perubahannya.

Akan tetapi, Perpres 54 Tahun 2010 dan perubahannya juga bukan tanpa kelemaan, banyak pasal yang cenderung mengakibatkan multitafsir antara pelaksana PBJ dan Aparat Pengawas, yang berujung pengenaan pasal pidana Tindak Korupsi. Menurut Presentasi UKP4 pada sosialisasi E-Purchasing pada Pemda DKI, 85% melibatkan minimal 176 Gubernur/Bupati/Walikota (Mendagri pada Raker DPD RI 2011), 70%  kasus korupsi berasal dari PBJ (Penelitian KPK), dan 90% kasus penyimpangan PBJ terkait tahap perencanaan.

Kembali ke Perubahan Paradigma PBJ, LKPP memiliki empat Pilar Reformasi PBJ Pemerintah (berdasarkan OECD DAC Indicators), yaitu :

1.   Legislative & Regulatory Framework; Perpres 54/2010 – Perpres 70/2012, berbagai PerKa LKPP (SBD, dll) dan RUU.
Update terbaru terkait Legislative & Regulatory Framework masih menunggu langkah dan arah kebijakan Presiden Terpilih; namun LKPP akan berupaya meningkatkan menjadi UU PBJ.
2.  Institutional Framework & Management Capasity; LKPP, ULP/Pejabat Pengadaan, LPSE, PA/KPA-PPK-dsb, Sertifikasi Ahli Pengadaan, Jabfung PBJ.
APBN/APBD atau BUMN/BUMD dan Swasta diwajibkan melakukan Reformasi Birokrasi terkait Pembentukan ULP baik secara Ad-hoc, Permanen dan Berdiri Sendiri). Ad-hoc masih mengandalkan SK dimana panitia masih bersifat “cabutan”, Permanen melekat secara fungsional pada Eselon tertantu, sedangkan Berdiri Sendiri sudah menjadi Unit Struktural.
3.  Procurement Operation and Market Practice; Kewenangan Pengadaan Langsung dan E-Procurement (E-Purchasing & E-Tendering).
Perpres 70/2012 masih memperbolehkan ULP/Pebajat Pengadaan untuk melaksanakan PBJ secara Manual (dibawah 200 jt) dan Lelang (diatas 200 jt). Lelang bisa manual di ULP dan E-Proc di LPSE. Update terbaru, LKPP akan merilis SPSE ver. 4 dimana semua proses PBJ baik Penunjukan Langsung, Pengadaan Langsung dan Lelang dilakukan secara elektronik melalui LPSE masing-masing K/L/D/I.
4.    Integrity & Transparancy (Anti Corruption); Tranparansi, Pakta Integritas dan Kode Etik.
Perlunya “Budaya Perencanaan Diawal” atas setiap Kegiatan yang tertuang di RKAKL

Poin pertama menjadi ranah Pemerintah dalam merumuskan arah kebijakan terkait pengelolaan barang/jasa. Poin kedua ibarat suatu sistem penggerak atau bisa dikatakan misi. Poin ketiga dan keempat menjadi isu penting, mengingat sebagai target yang diharapkan.

Kualitas SDM menjadi titik kritis dalam mengukur tinggi/rendahnya capaian target tersebut. Katalisator berupa sertifikasi, pengangkatan dalam Jabatan Fungsional Pengadaan dan atau remunerasi bagi pengelola, apabila tidak termonitoring dan evaluasi, maka akan menjadi “slogan”. Menurut Penelitian Disertasi Kepala Jurusan Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, pada Seminar Nasional Pengadaan IAPI pada tanggal 27-28 Agustus 2014, dikatakan bahwa kasus Tipikor yang melibatkan PBJ, 80% diantaranya BUKAN Tipikor, melainkan kesalahan administrasi yang seharusnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

K/L/D/I wajib merumuskan formulasi terutama terkait pengelolaan SDM sehingga cita-cita perubahan paradigma  bisa terealisasi. Sistem rekrutmen adhoc yang berganti tiap tahun, disamping memboroskan anggaran, juga berdampak pada kontinyuitas sistem. Pengelolaan SDM yang permanen, lebih menjamin tercapainya target.

Empat pilar tersebut apabila sudah terlaksana secara paralel, akan berdampak pada pengelolaan pengadaan barang/jasa yang bukan hanya transparan dan akuntabel, melainkan juga berdaya saing. Daya saing yang dimaksud adalah kualitas produk dan kuantitas pemanfaatan produk tersebut bagi masyarakat. Itulah target hakiki.

Reformasi Integritas Abdi Negara


Gerakan nyata Antikorupsi sebenarnya sudah dimulai ketika Paket Undang-Undang Keuangan Negara terbit tahun 2004, yang menjadi dasar perubahan paradigma pengelolaan negara. Korupsi bukan saja diartikan menghimpun dana rakyat untuk keperntingan pribadi/golongan, melainkan dalam segi aspek kinerja seorang abdi negara dalam mengelola pekerjaan “rumah tangga” masing-masing kementerian/lembaga.

Paket UU Keuangan Negara benar-benar membatasi gerak “Para Pengelola Bangsa” ini menjadi lebih transparan, akuntabel, serta auditabel. Pemusatan rekening menjadi hanya dua terkait penerimaan dan pengeluaran, mekanisme pencairan APBN berbasis aplikasi (SPAN) dan pelaporan yang semakin berbasis portal, serta pembentukan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dimasing-masing instansi, tentunya membuat semakin tinggi ekspektasi rakyat akan pengelolaan negeri ini.

Negara ini krisis akan integritas, wajar jika dibandingkan dengan negara lain; Jepang dengan budaya malu, China dengan ketegasan, serta Korea dengan disiplin karena wajib militernya. Semua berawal dari Integritas. PNS “kotor” pasti memiliki level terendah, namun PNS “bersih” pun memiliki dampak sama, dalam perpektif yang lain tentunya. PNS bersih memiliki kecenderungan membatasi lingkungan (comfort zone), baik dari segi pergaulan dan peningkatan kemampuan, karena ditakutkan menerima resiko pekerjaan. Untuk itulah UU Reformasi Birokrasi yang sebentar lagi diberlakukan menjadi jawabannya. PNS atau nanti dikenal ASN “dipaksa” secara sistem mengambil Jabatan Fungsional yang menjadi Core Competence-nya. Tidak jaman lagi seorang PNS hanya makan “gaji” buta, tanpa ada peningkatan kinerja sesuai kemampuannya dalam berkarir.

Gerakan Antikorupsi, dapat juga disamakan dengan Peningkatan Kinerja bagi Aparatur Negara. Semakin jelas dan tepat sasaran kinerja yang diharapkan atas seorang PNS, maka akan berkurang level korupsi tergantung pengukuran tingkat evaluasi. Ukuran kinerja tentu berbeda-beda, semua difasilitasi lembaga tempat PNS tersebut memberikan pelayanan. Proses pengukuran dijalankan dan diawasi sistem, baik level internal lembaga tersebut, maupun eksternal, terutama lembaga/kementerian yang interkoneksi.

Sektor Swasta pun, yang dianggap “lebih” patuh hukum karena banyaknya birokrasi pendirian usaha tersebut, turut menjadi indikator peningkatan kinerja dalam hubungan penjual dan pembeli terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Nilai proyek, validitas perusahaan, atau administrasi lainnya menjadi tolok ukur penting menilai potensi terjadinya tindak korupsi.

Bagi kami abdi negara, Gerakan Antikorupsi dimulai ketika Pemerintah menerapkan manajemen bottom-up dalam mengidentifikasi potensi dan kelemahan guna mengelola ancaman dan peluang. Sejauh ini, seperangkat aturan terkait mekanisme pencairan dan pelaporan berupa UU, Perppu, Perpres, Kepres, dan peraturan turunan lainnya di level kementerian/lembaga sudah mengarah ke keterbukaan informasi publik. Yang menjadi catatan menarik, seriring pergantian pergantian DPR, MPR, Presiden serta perubahan iklim penguasa, apakah perangkat tersebut akan tetap menjadi fokus bersama??? Bagi kami abdi negara, apa yang digariskan pemerintah yang diterjemahkan pimpinan kementerian./lembaga kami, akan kami jalankan seiring peningkatan kinerja melalui “Itegrity Reform”. Reformasi Integritas mutlak dijalankan, karena apalah arti sistem yang transparan, akuntabel dan auditabel, bila “si kotor” yang menjalankan. Begitu pula bila “si bersih” yang menjalankan bila hanya bertahan sementara tanpa ada perbaikan secara kontinyu.

Mari berbenah diri, mereformasi integritas diri untuk pelayanan yang lebih baik demi pembangunan yang bermatabat.