"Selamat Datang di EPRIO"

ULP Berdikari Melalui e-K/L Mart web 2.0

Call For Papers, 12 Mei 2015 - Jurnal Pengadaan Edisi IV

Perka LKPP No. 17 Tahun 2012 tentang e-purchasing merubah paradigma pengadaan dari manual menuju elektronik, dari pemeriksaan berkas menjadi monitoring, dan dari penyimpanan fisik menjadi penyimpanan cloud computing. E-purchasing dapat menjadi tolok ukur anggaran berbasis kinerja yaitu performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien, sehingga mewujudkan Reformasi Birokrasi, dimana kinerja diukur dari output yang dihasilkan.

E-purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui system katalog elektronik yang bisa diakses di website LKPP. Banyaknya varian katalog membuat pengelola barang/jasa dimanjakan disamping proses yang transparan. K/L dengan kebutuhan belanja rutin dan umum, sudah bisa menggunakan fasilitas Online Shop yang memuat ATK, bahan komputer dll, namun bagaimana dengan K/L dengan kebutuhan belanja khusus dan kritis ?

Perkembangan procurement operation dan market practice berpengaruh signifikan terhadap perubahan pola belanja masyarakat pada umumnya yang akhirnya “menyeret” K/L. Toko-toko Online menjamur seperti OLX, Tokopedia, Elevania, Bhinneka dll. Bahkan Mal-mal ikut meramaikan konsep pemasaran tersebut dengan membuat etalase online pada website nya. LKPP dalam tiap kesempatan terus memperbaharui katalog yang ada, baik dari segi kuantitas produsen, maupun kualitas katalog. Akan tetapi dengan jutaan kebutuhan dengan spesifikasi khusus dan kritis, maka akan membutuhkan waktu. Bisakah menunggu ?

Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 menghilangkan kata “dapat” dari redaksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat dilakukan secara elektronik, yang berdampak celah untuk menggunakan manual (non-elektronik) mengingat perkembangan SPSE sangat bergantung pada LKPP. Sebagai contoh di lembaga kami masih menggunakan SPSE v.3,6 dengan kebutuhan teknis berupa bahan baku penelitian yang belum tersedia di katalog.

Perka LKPP no. 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Perka LKPP No. 5 Tahun 2012 tentang Unit Layanan Pengadaan sebenarnya bisa menjawab tantangan tersebut. Terlebih dengan SPSE v.4 maka tupoksi ULP bisa “diberdayakan” untuk mengisi etalase katalog, mengingat Pejabat Pengadaan sudah menerapkan e-Pengadaan. Pemberdayaan yang dimaksud adalah dengan meng-encourage ULP membuat daftar etalase katalog di lingkungan K/L masing-masing, terlebih yang bersifat khusus dan kritis.

Lainnya yang perlu di encourage adalah mewujudkan ULP yang terintegrasi dengan Satker / SKPD. Perka LKPP no. 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Perka LKPP No. 5 Tahun 2012 tentang Unit Layanan Pengadaan masih terdefinisi menjadi tiga unit organisasi, yaitu yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.

Seyogyanya, bila Web 2.0 E-K/L Mart dengan e-katalog per masing-masing K/L, maka ULP jikapun masih melekat pada unit yang ada, dapat menjadi sistem operator manajemen. Sistem Informasi Manajemen Pengadaan Langsung (SIMPel) pada LPSE Kementerian Keuangan menjadi benchmark yang patut diapresiasi.

Melihat Supplier Perception Model, penyedia dengan skala kecil (marjinal) akan terbina seandainya e-Pengadaan (SIMPel) dan e-K/L Mart terlaksana. Sementara bagi penyedia non kecil, berdampak pada tingginya angka minat, dikarenakan pendeknya rentang pembayaran, terlebih konsep procure to pay menyertai dilaksanakan.

LKPP bagi pengelola barang/jasa K/L selalu menjadi benchmark dalam hal pengelolaan belanja barang/jasa pemerintah yang transparan, akuntabel demi efisiensi dan efektifitas anggaran. Barang Milik Negara (BMN) yang dihasilkan pun dapat bernilai manfaat sesuai umur ekonomisnya.  Disamping itu, image pengelola PBJ masuk dalam lingkaran Kejaksaan, Polisi dan KPK akan terkikis.

Apabila tiap-tiap K/L membuat e-katalog, maka tidak ada alasan masih mengunakan manual. Jika Tarif PNBP saja bisa distandardkan per K/L masing-masing, lalu Jenis Belanja bisa menggunakan SBKK atau SBKU, maka seyogyanya e-Katalog pun bisa, dengan konsep e-K/L Mart.


---

Teknis Sahabat Administrasi

Melanjuti Kajian Sebelumnya dengan judul Seni Fungsi Manajemen OAPC (Kajian Politik Kerja), kali ini akan lebih detail pada tiap fungsi tersebut.

Sebelum masuk, sering kali terdapat silang pendapat akan pengertian Manajemen dan Administrasi. Ada pihak yang mendefinisikan sama, berbeda tapi dalam satu lingkup, atau berbeda sama sekali. Penulis tidak mau “terjebak” definisi Manajemen dan Administrasi pendekatan Ilmu, melainkan sebagai Seni.

Dalam berbagai kajian , manajemen bisa diartikan seni mengatur dan diatur melalui suatu Proses Planning, Organizing, Actuiting, dan Controlling dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Sementara Administrasi bisa diartikan Seni mengelola Sumber Daya baik Man, Money, Materials, Methods, Machine, Market dan lainnya secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Jika ditarik benang merah, Administrasi merupakan Unsur-Unsur Manajemen. Secara Praktis disebutkan, bahwa Fungsi Manajemen (POAC), selanjutnya disebut Teknis, bisa berhasil apabila administrasi berjalan.

Teknis dan Administrasi seringkali diibaratkan Minyak dan Air atau berdiri sendiri meski dalam satu wadah organisasi. Sangat berpotensi Risiko berupa Konflik. Ada banyak sekali konflik; konflik Intrapersonal (dengan diri sendiri) dan konflik interpersonal (diri dengan orang lain); konflik antar individu-individu; konflik antarkelompok; dan konflik antarorganisasi. Namun yang berkaitan dengan kajian bisa kita persempit yaitu konflik antarkelompok. Kelompok pertama adalah Teknis; dan kelompok kedua adalah Administrasi.

Karena merupakan bagian dari Manajemen, sering kali Administrasi menjadi pihak yang minoritas. Dalam Fungsi Manajemen, penempatan Administrasi mutlak “hanya” pada Actuiting, sisanya bersifat pelengkap. Tidak aneh bila akhirnya muncul risiko konflik yang berujung pada tidak tercapainya tujuan organisasi.

Dewasa ini, tuntutan Akuntabilitas dan Transparansi Publik dalam rangka berkinerja bagi kesejahteraan masyarakat sangat kencang untuk sektor pemerintah. Sehingga Top Management menempatkan secara proporsional antara Teknis dan Administrasi pada setiap Fungsi.  Mari kita bedah bersama :

1.         Planning
Secara proporsional, baik Teknis dan Administrasi terlibat dengan komposisi seimbang. Kegiatan yang direncanakan dan ditargetkan Tim Teknis, dibungkus Akuntabilitas dan Transparansi oleh Tim Administrasi.
Bagaimana bila Teknis lebih dominan? Tujuan Organisasi tidak akan tercapai sebagai satu kesatuan, melainkan per kelompok. Administrasi kesulitan baik dalam hal akses dan pelaksanaan.
2.         Organizing
Tidak ada pembagian proporsional, melainkan tiap Teknis dan Administrasi memiliki tupoksi yang diatur organisasi yang seiring berirama bersepakat dalam hal positif mencapai tujuan Organisasi sesuai panduan visi misi dll.
3.         Actuiting
Sama seperti Organizing. Hanya, untuk Kegiatan yang lintas sektor, menimbulkan potensi konflik. Apalagi bila penempatan personil di Administrasi berasal dari Teknis yang hanya simbolis. Administrasi akan memiliki risiko tidak akuntabel, sementara Teknis memiliki konflik kepentingan.
4.         Controlling
Alangkah lebih baik bila secara proporsional antara Tim Teknis dengan Tim Administrasi sehingga objek pengawasan bukan hanya tercapai/tidaknya tujuan dari sisi Teknis. Tidak dapat dibayangkan menjadi keroposnya kelembagaan organisasi karena terjadinya konflik kepentingan.

Pemerintah beberapa tahun belakangan mulai “sadar” bahwa Risiko suatu lembaga negara, bukan hanya terletak pada fungsi Controlling saja. Bahkan untuk penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, Polri dll bukan memandang bila Penegakan Hukum harus mulai lambat dikurangi dan digantikan dengan fungsi Pembinaan sehingga asas manfaat bisa dirasakan langsung oleh Masyarakat. Kementerian Keuangan dengan Program SPAN – SAKTI, LKPP dengan “Penyuluh” Pengadaan bagi yang bersertifikat, serta K/L lainnya yang melaksanakan Quick Wins sesuai tupoksi yang digagas Kementerian PAN & RB. Serta jangan lupa, Inspektorat atau APIP mengalami pergeseran dari Post Audit menjadi Pre Audit.

Terakhir. Program, kegiatan, visi, misi dan lainnya yang menurut K/L bermanfaat bagi masyarakat, seyogyanya Teknis bersahabat dengan Administrasi, agar tidak menjadi Wacana.

Seni Fungsi Manajemen OAPC (Kajian Politik Kerja)


Kamis, 7 April 2016 lalu, saya membaca republika.co.id dan tergelitik mencari tahu apa yang menjadi dasar dilontarkan pernyataan tersebut oleh Presiden Joko Widodo.

Pada pelaksanaan Sidang Kabinet Paripurna tersebut, Presiden membahas empat hal yakni, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016, Penghematan Tahun Anggaran 2016, Program Prioritas dan Pagu Indikatif 2017, Kemudahan Berbisnis, serta Kebijakan Satu Peta.

Mari mempersempit kajian pada pihak yang “tersentil” oleh Presiden, dalam hal ini Kementerian/Lembaga (K/L).

Berbicara Kebijakan pada level organisasi negara (eksekutif), tentu tidak lepas dari Ilmu Manajemen pada Birokrasi Pemerintah, bagi Praktisi maka akan menyernyitkan dahi tanda mengalami kebingungan. Serumit itukah ??

Teori Manajemen secara Fungsi terbagi menjadi 4 (Empat) dengan alur : Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling (POAC). Birokrasi Pemerintah, entitas terkecil sekalipun, dalam keseharian seringkali mengalami alur yang terbalik, pada kajian ini saya bisa sebutkan OAPC. Level Middle dan Lower Management mengambil peranan penting sebagai pihak pelaksana OA, sementara Top Management sebagai pihak PC (saya tidak membahas siapa dan apa posisi tiap level).

Hal tersebut dikarenakan biasanya Planning dibuat untuk Jangka Pendek/Panjang dan Controlling dibuat untuk mengawasi pencapaian kinerja. Yang menjadi perhatian bukan tinggi/rendahnya capaian target kinerja atau ketat/rendahnya pengawasan, melainkan berfungsi/tidaknya sistem dalam hal mencapai kinerja serta terlaksana/tidaknya pengawasan. Ilmu manajemen yang saya pahami dan praktekkan, lebih mengarah pada konsep manajemen sebagai sebuah Seni.

Kita mungkin pernah dengar Manajemen Perkantoran, Manajemen Keuangan, Manajemen Produksi dan Manajemen lainnya yang secara “baku” dilakukan sebuah organisasi yang menerapkan Manajemen sebagai Ilmu, suatu akumulasi pengetahuan yang disistemasi atau kesatuan pengetahuan yang terorganisir. Bagaimana dengan Manajemen sebagai Seni?

Seni pada Manajemen bisa dibuktikan dengan berkembangnya konsep manajemen itu sendiri yang disesuaikan kesehariannya untuk mencapai tujuan organisasi menggunakan sumber daya manusia. Bisa juga diartikan kegagalan sistem karena tidak terjalinnya mutual understanding antara Top – Middle – Lower Management. Muncul kemudian kajian (yang berkaitan dengan topik ini) yaitu Risiko dan Pengetahuan.

Kembali ke OAPC, Middle memandang Risiko dan Pengetahuan tetap menjadi tupoksi level Top, sehingga Lower melaksanakan sporadis dengan fokus pada tujuan akhir. Proses cenderung diabaikan. Yang terjadi, Top mengikuti alur fokus pada tujuan akhir tersebut, dan mengawasi demi tercapainya tujuan akhir tersebut dengan (sekali lagi) proses cenderung diabaikan. Salahkah ?

Tidak salah, karena Manajemen mengenal pendekatan perencanaan Bottom-Up. Lalu Benarkah? Tidak benar bila berada pada posisi OAPC, karena selain berpotensi “mengkhianati” Target Rencana Jangka Panjang (Tidak Tercapai atau bahkan melenceng), juga berdampak pada “Politik Wacana” organisasi. Top akan kesulitan atau bahkan “menuruti” kehendak organisasi-organisasi pada rantai sistem karena Kendali memang berada pada masing-masing organisasi teknis. Tidak mudah menciptakan keselarasan antara teknis dan administrasi. Selamat datang Risiko.

Sumber Daya Manusia, baik Top – Middle – Lower masing-masing memiliki Risiko dan bahkan pengetahuan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ilustrasi di atas, Top berkesan hanya bisa mengatur dan mendesain aturan agar tujuan akhir tercapai. Middle dan Lower pun cenderung mengabaikan risiko dan pengetahuan dan mengalihkan ke Top. Sangat berputar-putar.

Sekelompok pegawai pada level Lower, melaksanakan tupoksi sesuai tuntutan kinerja. Yang tidak dipahami biasanya proses yang diabaikan demi tercapainya tujuan akhir organisasi. Apakah proses itu?

Penulis mengartikan Proses sebagai sebuah dinamika yang berada pada fungsi OAPC (penulis konsisten pada kajian) pada tiap level manajemen. Pada fungsi Organizing dikenal istilah Jabatan atau pihak yang dapat mandat mengatur serta diatur, Actuiting dikenal istilah visi, misi, kegiatan, program dll, Planning dikenal istilah target, realisasi dll, dan Controlling dikenal istilah Monitoring, Evaluasi, Punish, Reward dll. Proses biasanya berbentuk Aturan, Norma atau SOP dll istilahnya yang mengikat perilaku SDM pada suatu organisasi.

Sangat menarik jika dilihat suatu organisasi hanya mendesain tujuan akhir, padahal jika memperhatikan suatu proses, dikaitkan dengan pengetahuan dan risiko, ada potensi mengurangi kesenjangan tiap pegawai dengan cara mendesain ruang dan waktu demi terciptanya transfer knowledge terjadi yang pada akhirnya mengendalikan risiko.

Tidak akan ada lagi Top yang mengandalkan perencanaan Bottom-Up yang tidak sempurna, yang berpotensi memicu konflik ditiap unit organisasi terkecil akibat tidak terkoneksinya sistem horisontal. atau Lower yang terpaksa melaksanakan suatu proses yang secara sistem vertikal tidak diketahui kesesuaian antara hasil yang ingin dicapainya dengan yang organisasi harapkan.

Secara hirarki, antara Top – Middle – Lower memiliki garis perintah dan kordinasi secara vertikal dan horisontal, tergantung bagan organisasi yang terbentuk dan dibalut Aturan, Norma dan SOP yang melekat.

berhenti disana? Tidak

Selanjutnya adalah Kompetensi Inti (Core Competence) Organisasi. POAC disesuaikan tupoksi berdasarkan Kompetensi Inti Organisasi/Lembaga. Organisasi Pendidikan, Kompetensi Intinya berada pada Sumber Daya berbasis Pendidikan. Bank, Restoran, Hotel dll sejenisnya berbasis kompetensi inti Pelayanan. Bagaimana dengan Kompetensi Inti Lembaga Pemerintah?

Secara umum, tiap K/L, Pemda dan entitas turunannya dibentuk oleh Negara memiliki tupoksi dan kompetensi inti dan secara sistem bertujuan dalam rangka kesejahteraan masyarakat. Hanya secara khusus, secara praktisi manajemen, terdapat pembeda, yaitu Pegawai.

Dahulu, angkatan kerja menolak menjadi PNS selain karena bergaji rendah dibanding swasta, juga berstigma pengabdian tanpa kesejahteraan. Pasca Reformasi, setiap tahun angkatan kerja berbondong-bondong melamar karena kondisi sosial ketenagakerjaan yang timpang dengan perekonomian. Dengan kata lain, angkatan kerja ingin tetap berpenghasilan.

Apa yang dilihat angkatan kerja tersebut?

Reformasi Birokrasi. Pelayanan Satu Pintu bukan wacana dalam pelayanan publik, transparansi terjadi dan seluruh K/L berbenah selalu beraksi membenahi tiap lini dan bahkan memberantas korupsi. PNS bertransformasi menjadi ASN. Apa yang menjadi harapan ?

Dengan semakin baiknya tingkat pendidikan dan latar belakang ASN, tentu bukan lagi diibaratkan pesawat yang akan lepas landas. Lalu apa potensi Risikonya?

Pada paragraf awal disebutkan Manajemen Birokrasi. Disanalah letaknya. Birokrasi yang ter-Reformasi dengan mengabaikan kesesuaian alur Fungsi Manajemen akan berjalan sangat lambat. Percuma memiliki ASN berkualitas secara core competence pada tiap level, jika sistem yang mengatur tidak berpihak pada Proses.

view Linkedin