Perka LKPP No. 17 Tahun 2012 tentang e-purchasing merubah paradigma pengadaan
dari manual menuju elektronik, dari pemeriksaan berkas menjadi monitoring, dan
dari penyimpanan fisik menjadi penyimpanan cloud
computing. E-purchasing dapat
menjadi tolok ukur anggaran berbasis kinerja yaitu performance atau
prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara
efisien, sehingga mewujudkan Reformasi Birokrasi, dimana kinerja diukur dari
output yang dihasilkan.
E-purchasing
merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui system katalog elektronik
yang bisa diakses di website LKPP. Banyaknya varian katalog membuat pengelola
barang/jasa dimanjakan disamping proses yang transparan. K/L dengan kebutuhan
belanja rutin dan umum, sudah bisa menggunakan fasilitas Online Shop yang memuat ATK, bahan komputer dll, namun bagaimana
dengan K/L dengan kebutuhan belanja khusus dan kritis ?
Perkembangan procurement
operation dan market practice
berpengaruh signifikan terhadap perubahan pola belanja masyarakat pada umumnya
yang akhirnya “menyeret” K/L. Toko-toko Online
menjamur seperti OLX, Tokopedia, Elevania, Bhinneka dll. Bahkan Mal-mal ikut
meramaikan konsep pemasaran tersebut dengan membuat etalase online pada website nya. LKPP dalam tiap
kesempatan terus memperbaharui katalog yang ada, baik dari segi kuantitas produsen,
maupun kualitas katalog. Akan tetapi dengan jutaan kebutuhan dengan spesifikasi
khusus dan kritis, maka akan membutuhkan waktu. Bisakah menunggu ?
Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 menghilangkan
kata “dapat” dari redaksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat
dilakukan secara elektronik, yang berdampak celah untuk menggunakan manual
(non-elektronik) mengingat perkembangan SPSE sangat bergantung pada LKPP.
Sebagai contoh di lembaga kami masih menggunakan SPSE v.3,6 dengan kebutuhan
teknis berupa bahan baku penelitian yang belum tersedia di katalog.
Perka LKPP no. 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Perka
LKPP No. 5 Tahun 2012 tentang Unit Layanan Pengadaan sebenarnya bisa menjawab
tantangan tersebut. Terlebih dengan SPSE v.4 maka tupoksi ULP bisa “diberdayakan”
untuk mengisi etalase katalog, mengingat Pejabat Pengadaan sudah menerapkan
e-Pengadaan. Pemberdayaan yang dimaksud adalah dengan meng-encourage ULP membuat daftar etalase katalog di lingkungan K/L
masing-masing, terlebih yang bersifat khusus dan kritis.
Lainnya yang perlu di encourage adalah mewujudkan ULP yang terintegrasi dengan Satker /
SKPD. Perka LKPP no. 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Perka LKPP No. 5 Tahun 2012
tentang Unit Layanan Pengadaan masih terdefinisi menjadi tiga unit organisasi,
yaitu yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang
sudah ada.
Seyogyanya, bila Web 2.0 E-K/L Mart dengan e-katalog
per masing-masing K/L, maka ULP jikapun masih melekat pada unit yang ada, dapat
menjadi sistem operator manajemen. Sistem Informasi Manajemen Pengadaan
Langsung (SIMPel) pada LPSE Kementerian Keuangan menjadi benchmark yang patut
diapresiasi.
Melihat Supplier
Perception Model, penyedia dengan skala kecil (marjinal) akan terbina
seandainya e-Pengadaan (SIMPel) dan e-K/L Mart terlaksana. Sementara bagi
penyedia non kecil, berdampak pada tingginya angka minat, dikarenakan pendeknya
rentang pembayaran, terlebih konsep procure
to pay menyertai dilaksanakan.
LKPP bagi pengelola barang/jasa K/L selalu menjadi benchmark dalam hal pengelolaan belanja
barang/jasa pemerintah yang transparan, akuntabel demi efisiensi dan
efektifitas anggaran. Barang Milik Negara (BMN) yang dihasilkan pun dapat
bernilai manfaat sesuai umur ekonomisnya. Disamping itu, image pengelola PBJ masuk dalam
lingkaran Kejaksaan, Polisi dan KPK akan terkikis.
Apabila tiap-tiap K/L membuat e-katalog, maka
tidak ada alasan masih mengunakan manual. Jika Tarif PNBP saja bisa
distandardkan per K/L masing-masing, lalu Jenis Belanja bisa menggunakan SBKK
atau SBKU, maka seyogyanya e-Katalog pun bisa, dengan konsep e-K/L Mart.
---